Belajar Hal Gaib
https://onani-crot.blogspot.com/2013/09/belajar-hal-gaib.html
Secara umum, gaib diartikan oleh para
ahli bahasa sebagai segala sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata di
kepala manusia, baik sesuatu itu dapat digambarkan dalam hati atau
tidak.
Termasuk ke dalam pengertian ini gaib
dalam konteks ilmu kalam, seperti malaikat, surga, neraka, dan alam-alam
gaib lainnya; dan dalam konteks hukum Islam, seperti jual beli barang
yang gaib (tidak tampak), shalat jenazah gaib, dan lain-lain.
Dalam terminologi hukum Islam, istilah
gaib diartikan sebagai seseorang atau sesuatu yang maujud (ada) secara
fisik, tetapi tidak berada di tempat tindak hukum dilaksanakan sehingga
tidak dapat dilihat oleh mata orang yang hadir.
Misalnya, seseorang yang berakad tidak
hadir dalam suatu upacara akad yang seharusnya dihadirinya atau barang
yang diperjualbelikan tidak ada di tempat upacara akad jual beli.
Pengertian gaib dalam konteks hukum Islam lebih bersifat fisik, sehingga penekanannya adalah penglihatan mata kepala manusia.
Segala sesuatu yang tidak terlihat
langsung oleh mata pada suatu ketika atau tempat, maka pada saat dan
dari tempat itu ia disebut gaib, meskipun sesungguhnya ia dapat
berkomunikasi dengan yang hadir melalui sarana komunikasi tertentu
(misalnya, telepon).
Dalam hal ini, gaib menjadi antonim dari kata syahadah yang berarti kelihatan langsung dengan mata.
Kaitannya dengan Bidang Hukum
Persoalan gaib banyak dibicarakan oleh fukaha di masa lalu. Persoalan ini dapat dilihat dalam berbagai bidang, sebagai berikut:
1. Bidang ibadah, diantara contoh
persoalan gaib yang terdapat pada bidang ibadah ialah shalat jenazah
yang gaib. Umpamanya seseorang meninggal dunia di tempat lain sehingga
jenazahnya tidak dapat dilihat oleh kaum kerabatnya.
Jika kaum kerabat itu ingin menyalatkan
jenazahnya, maka boleh dilakukan dengan shalat gaib. Pelaksanaannya
tidak berbeda dengan shalat jenazah yang hadir, hanya saja perbedaannya
terletak pada niatnya, yaitu mengerjakan shalat jenazah gaib si jenazah
empat kali takbir.
Dasar pensyariatan shalat gaib ini ialah
hadis dari Abu Hurairah yang artinya, “Bahwasanya Nabi SAW menyiarkan
berita kematian Raja Najasi pada hari kematiannya itu, kemudian beliau
bersama mereka pergi ke mushola, sampai di sana mereka berbaris dan
takbir empat kali.” (HR. Muttafaq Alaih).
2. Bidang muamalah. Masalah gaib dalam bidang muamalah meliputi hal-hal seperti jual beli barang yang gaib dari majelis akad.
Dalam memandang persoalan ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih.
1. Ulama Mazhab Hanafi misalnya,
mengatakan bahwa jual beli barang yang gaib tanpa melihat dan tidak pula
ada penjelasan tentang sifat-sifatnya dari penjual adalah sah.
Akan tetapi, pembeli setelah melihat
barangnya boleh khiar (memilih melangsungkan akad jual beli atau
membatalkan). Khiar seperti ini disebut khiar ar-ru’yah. Demikian juga
seandainya sifat barang yang dijelaskan oleh pembeli ternyata tidak
sesuai dengan sifat yang disepakati, maka pembeli boleh khiar.
Menurut Mazhab Hanafi, pensyariatan
khiar adalah untuk menghindari adanya unsur penipuan dalam jual beli
yang diakibatkan oleh ketidaktahuan pembeli. Dasar syariat khiar ini
ialah hadis Nabi SAW, “Siapa yang membeli sesuatu barang yang tidak
dapat dilihatnya secara langsung maka ia memiliki hak khiar setelah
melihat barang itu.” (HR. Daruqutni).
2. Menurut ulama Mazhab Maliki, boleh
mengadakan jual beli barang yang gaib, dengan syarat penjual lebih
dahulu menjelaskan sifat-sifat barang tersebut dan sifat itu diyakini
tidak akan berubah sampai akad atau serah terima barang berlangsung.
Jika barang yang dipeijualbelikan itu
sesuai dengan sifat yang dijelaskan, maka akad itu dipandang sah, karena
penjelasan mengenai sifat-sifatnya itu dipandang sebagai ganti melihat
langsung. Jika berbeda dengan sifat-sifat yang ditentukan sebelumnya,
maka pembeli boleh khiar.
Menurut Mazhab Maliki, menjual barang yang gaib tanpa menjelaskan sifat, jenis, dan macamnya boleh dengan dua syarat.
1) Kepada pembeli diberikan hak khiar setelah ia melihat barang yang diperjualbelikan itu.
2) Pembeli tidak menyerahkan uangnya
lebih dahulu pada penjual sebelum barang itu diperiksa dan sesuai dengan
sifat-sifat yang dikemukakan.
Menurut ulama Mazhab Maliki, jual beli
seperti ini disebut jual beli dalam rencana. Ulama Mazhab Syafi’i
berpendapat, jual beli barang yang gaib itu tidak sah selama kedua orang
yang berakad tidak melihat langsung barang yang diperjualbelikan.
Alasannya, karena jual beli semacam itu
tidak terlepas dari unsur garar (tipuan akibat ketidaktahuan) yang
dilarang Nabi SAW dalam hadisnya, “Rasulullah SAW melarang jual beli
sara.” (HR. Muslim).
3. Ulama Mazhab Hanbali mengatakan bahwa
jual beli barang yang gaib tanpa menjelaskan sifat- sifatnya lebih
dahulu tidak sah, dengan alasan adanya unsur garar yang dilarang Nabi
SAW itu. Tetapi jika kepada pembeli dijelaskan sifat-sifatnya secara
terperinci seperti yang berlaku pada jual beli salam (pesanan), maka
jual belinya sah.
Imam Ahmad bin Hanbal sendiri mengatakan
tidak sah, karena menurutnya, penjelasan tentang sifat suatu barang
belum tentu dapat menjamin mutu barang tersebut.
Sumber : Republika.co.id
