Hakikat Cinta Dalam Pandangan Spiritual
https://onani-crot.blogspot.com/2014/06/hakikat-cinta-dalam-pandangan-spiritual.html
Apa gunanya menulis tentang cinta? Orang harus mengalami cinta agar
dapat memahami apa itu cinta. Seperti dikatakan Jalaludin Rumi, ketika
harus menjelaskan hakikat cinta, pena patah dan tak kuasa menulis. Namun
demikian, meskipun berhadapan dengan kata-kata dan konsep, menulis
tentang cinta dapat membangkitkan kesadaran tertentu dalam pikiran dan
jiwa pembaca, yang pada gilirannya dapat membuatnya siap untuk mengalami
cinta pada beberapa tingkat.
Tapi cinta itu sendiri tidak dapat direduksi ke dalam deskripsinya meskipun amat jelas dan puitis, sementara pada saat yang sama kata-kata yang berasal dari orang-orang yang benar-benar telah mencinta dapat menghadirkan ingatan dan membangkitkan di dalam diri sebagian orang cinta yang tersimpan di dalam jiwa semua manusia laki-laki dan perempuan.
Api cinta dapat dinyalakan melalui kata-kata yang tepat jika substansi jiwa siap untuk terbakar dalam api cinta, yang tanpanya hidup yang menjadi kehilangan nilai, karena sekali lagi mengutip Rumi: "Barangsiapa tidak memiliki api ini, hendaklah ia tidak ada".
Mari kita mulai dengan metafisika cinta. Cinta adalah sebagian dan sepenggal dari kenyataan. Cintalah yang menarik wujud kepada satu sama lain dan kepada Sumber mereka. Cinta tak lain adalah api yang nyalanya menerangi dan yang panasnya menghidupkan hati dan menganugerahkan kehidupan. Ia juga badai yang dapat menjungkirbalikkan jiwa dan menumbangkan keberadaan yang biasa. Cinta adalah kehidupan tetapi bisa pula kematian. Ia mencakup kerinduan dan pedih keterpisahan serta gairah penyatuan. Cinta juga tak terpisahkan dari keberadaan dalam berbagai bentuknya. Bukan hanya dalam Kekristenan Allah dianggap cinta, menurut Al-Quran salah satu dari Nama-Nya adalah Cinta atau al-Wadud.
Dan karena cinta adalah bagian dari Hakikat Ilahi, semua keberadaan, yang memancar dari-Nya, dijalari oleh cinta. Allah adalah cahaya langit dan bumi, seperti yang ditegaskan dalam Al-Quran. Kecerahan cahaya ini berkaitan dengan pengetahuan dan kehangatannya dengan cinta.
Tidak ada ranah eksistensi tanpa cinta ada di dalamnya, kecuali jika dilihat dari sudut pandang tertentu pada tingkatan manusiawi, karena Allah telah memberi kita kehendak bebas untuk mencinta atau tidak; namun demikian, bahkan pada tatanan manusiawi dapat dikatakan bahwa bahkan orang-orang yang tidak mencintai Allah atau tetangga mereka masih mencintai dirinya sendiri. Sejauh menyangkut kosmos, cinta dapat dilihat di mana-mana andai saja kita sadar akan realitasnya.
Cabang-cabang pohon tumbuh ke arah cahaya karena cinta, dan hewan-hewan menyayangi anak-anak mereka sebagai akibat dari cinta. Bahkan langit bergerak karena kekuatan cinta, yang kita reduksi menjadi sekadar fisika dan kuantitatif, dan kita sebut gravitasi. Seperti yang ditulis Dante pada bagian paling akhir dari Divine Comedy, kesatuan rohani tertinggi melibatkan pengalaman dan realisasi dari "l’amor che move il sole e l’altre stelle," yaitu, "cinta yang menggerakkan matahari dan bintang-bintang lainnya."
Cinta mengalir di dalam nadi alam semesta, demikian pula rahmat, dan kita sebagai manusia dapat dan benar-benar mencinta, objek cinta kita mulai dari makhluk duniawi, terutama seseorang, hingga Allah itu sendiri. Tetapi seperti yang telah disebutkan, pada kenyataannya cinta berasal Allah dan tidak bersama kita. Dalam dua perintah dasarnya Kristus meminta para pengikutnya untuk mencintai Allah yang mencintai makhluknya dan mencintai tetangga.
Al-Quran menyediakan dasar metafisikal untuk cinta ini dengan menegaskan bahwa Allah akan membawa orang-orang "yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya" (QS Al-Mâ’idah [5]:54). Ayat ini, yang telah berkali-kali dikutip oleh tulisan-tulisan Sufi mengenai cinta, makin menjelaskan bahwa pertama-tama Allah mencintai makhluk-Nya, dan sebagai konsekuensi dari cinta kita bisa mencintai-Nya. Selain itu, seperti yang dinyatakan dua perintah Kristus, cinta Allah memiliki kedudukan lebih tinggi daripada cinta tetangga, yang berarti semua makhluk dan bukan hanya manusia.
Karena itu, dari sudut pandang manusia, ada tahap-tahap cinta yang dipahami secara metafisikal dan seperti yang dijelaskan oleh kaum Sufi. Yang pertama-tama adalah cinta Allah untuk diri-Nya sendiri dan kemudian Cinta-Nya untuk makhluk-Nya, termasuk kita, yang sebagai akibatnya cinta menjalari inti substansi makhluk di semua tingkat eksistensi.
Kemudian, ada cinta kita kepada Yang Ilahi, dan akhirnya ada cinta kita kepada makhluk-makhluk lain, yang menurut mereka yang percaya diturunkan dari cinta kepada Allah. Pemahaman spiritual tentang cinta ini karenanya mentransendensi cinta ego pada dirinya sendiri, cinta palsu yang telah menjadi lumrah pada kebanyakan laki-laki dan perempuan. Hanya melalui hirarki ini dan hubungan di antara berbagai tingkatannya kekuatan spiritual dan transformatif cinta, yang bahkan dapat mengubah cinta ego pada dirinya sendiri menjadi cinta kepada Allah dan yang lainnya, dapat dimengerti.
Tetapi ada unsur lain yang lebih halus yang melibatkan instrumen serta kandungan wahyu yang mengikatkan kita kepada Allah. Bisakah seseorang mencintai Allah sebagai seorang Kristen tanpa mencintai Kristus? Jawabannya cukup jelas. Kebenaran yang sama berlaku bagi Islam, di mana cinta kepada Nabi merupakan prasyarat bagi cinta kepada Allah. Kebenaran ini dirangkum sebagai berikut: untuk mencintai Allah, Dia harus terlebih dahulu mencintai kita, dan Allah tidak mencintai orang yang tidak mencintai Nabi atau rasul-Nya dan risalahnya.
Karena cinta berasal dari Allah dan memancar dari-Nya, cinta sejati di dunia ini pada akhirnya tidak lain daripada cinta kepada Allah. Orang-orang Kristen awal berbicara tentang agape dan eros untuk membedakan cinta Tuhan dan manusia atau kosmik, dan pembedaan ini masih penting dalam banyak teologi Kristen, terutama teologi Katolik.
Kaum Sufi mengambil rute yang berbeda. Mereka tidak menggariskan perbedaan yang tajam antara agape dan eros, memandang yang kedua sebagai bayangan dan juga tangga menuju yang pertama. Sebaliknya, mereka berbicara tentang cinta sejati (al-‘isyq al-haqiqi), yaitu cinta manusia bagi Allah, dan cinta metaforis (al-‘isyq al-majazi), yang meliputi segala bentuk cinta yang kelihatannya berada di luar dan bebas dari ikatan cinta antara Allah dan manusia.
Menurut pandangan ini, sebagian besar dari apa yang kita anggap sebagai cinta bukanlah cinta yang sejati sama sekali melainkan cinta hanya dalam pengertian kiasan. Selain itu, terdapat satu hierarki lagi dalam cinta yang dimulai dari berbagai tingkatan cinta metaforis hingga cinta sejati, yang selalu melibatkan Allah dan dapat mencakup cinta pada seseorang atau sesuatu, tetapi di dalam Allah. Namun bahkan cinta metaforis adalah kilau dari cinta sejati karena akhirnya hanya ada satu Cinta dengan banyak tingkatan manifestasi.
Kaum Sufi juga berbicara tentang bentuk lain gradasi dan hierarki cinta. Mereka memulai dengan kondisi manusia biasa dan berakhir dengan keadaan orang-orang suci. Keadaan cinta terendah dari sudut pandang ini adalah cinta ego atau cinta diri atau cinta untuk dirinya sendiri. Ini masih cinta, tetapi karena sifatnya memenjarakan objeknya, cinta itu melumpuhkan dan menghalangi pertumbuhan jiwa dan kemungkinan baginya untuk mencapai tingkatan cinta yang lebih tinggi. Kemudian ada cinta kepada yang lain, entah itu manusia, hewan, atau benda-benda seperti tanaman, mineral, dan juga artefak bikinan manusia, terutama karya-karya seni. Tetapi tingkat cinta ini masih terbatas dan berhingga serta dalam banyak kasus bersifat sementara.
Sering kali ia menimbulkan keterikatan pada dunia sehingga menghalangi jiwa dari mengalami tingkat cinta yang lebih tinggi, yang secara paradoks juga melibatkan keterlepasan dari hal-hal yang bersifat keduniawian. Kemudian ada cinta untuk realitas suci, mencakup para nabi, kitab-kitab yang diwahyukan, orang-orang suci, seni yang suci, dan sebagainya, yang datang dari Allah, mengarahkan jiwa kepada-Nya, asalkan manusia tetap sadar akan Sumber dari semua yang suci.
Akhirnya, ada cinta kepada Allah, yang Suci adanya, yang tak berbatas dan membebaskan bukannya mengikat karena objek dari cinta ini adalah yang Tak Berbatas. Cinta tingkat tertinggi adalah cinta Allah untuk diri-Nya sendiri, dan inilah Cinta yang membuat semua bentuk cinta lain menjadi mungkin. Bahkan, segala bentuk cinta merupakan pantulan, meskipun sangat samar, dari cinta tertinggi ini.
Dari sudut pandang spiritual semua tingkatan yang disebutkan di atas bisa positif, dan masing-masing tingkat yang lebih rendah dapat mengantarkan ke tingkatan yang lebih tinggi alih-alih bersifat membatasi. Cinta pada diri sendiri dapat membuka kesadaran tentang sifat ego yang mudah mengelabui dan cepat berlalu dari ingatan serta efeknya yang memenjara, mengarahkan seseorang kepada pencarian akan dirinya yang lebih tinggi. Cinta pada yang lain dapat mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan serta membantu jiwa untuk mencari cinta yang tidak pernah binasa.
Cinta pada alam dapat menimbulkan rasa ingin tahu akan hikmat Allah dan cinta kepada Pencipta makhluk-makhluk yang menjadi objek kecintaan kita. Adapun cinta pada objek-objek suci, teofani dan yang sejenisnya, hampir selalu mengantarkan kepada cinta kepada Wujud Yang merupakan sumber dari karunia dan keindahan yang hadir di dalamnya. Hierarki cinta dengan demikian dapat dipandang sebagai tangga pendakian menuju Kerajaan Langit dan sebagai deskripsi tentang keterbatasan dan pemenjaraan yang lebih besar atas jiwa saat seseorang saat ia turun ke tingkatan yang lebih rendah dari hierarki tersebut.
Tapi cinta itu sendiri tidak dapat direduksi ke dalam deskripsinya meskipun amat jelas dan puitis, sementara pada saat yang sama kata-kata yang berasal dari orang-orang yang benar-benar telah mencinta dapat menghadirkan ingatan dan membangkitkan di dalam diri sebagian orang cinta yang tersimpan di dalam jiwa semua manusia laki-laki dan perempuan.
Api cinta dapat dinyalakan melalui kata-kata yang tepat jika substansi jiwa siap untuk terbakar dalam api cinta, yang tanpanya hidup yang menjadi kehilangan nilai, karena sekali lagi mengutip Rumi: "Barangsiapa tidak memiliki api ini, hendaklah ia tidak ada".
Mari kita mulai dengan metafisika cinta. Cinta adalah sebagian dan sepenggal dari kenyataan. Cintalah yang menarik wujud kepada satu sama lain dan kepada Sumber mereka. Cinta tak lain adalah api yang nyalanya menerangi dan yang panasnya menghidupkan hati dan menganugerahkan kehidupan. Ia juga badai yang dapat menjungkirbalikkan jiwa dan menumbangkan keberadaan yang biasa. Cinta adalah kehidupan tetapi bisa pula kematian. Ia mencakup kerinduan dan pedih keterpisahan serta gairah penyatuan. Cinta juga tak terpisahkan dari keberadaan dalam berbagai bentuknya. Bukan hanya dalam Kekristenan Allah dianggap cinta, menurut Al-Quran salah satu dari Nama-Nya adalah Cinta atau al-Wadud.
Dan karena cinta adalah bagian dari Hakikat Ilahi, semua keberadaan, yang memancar dari-Nya, dijalari oleh cinta. Allah adalah cahaya langit dan bumi, seperti yang ditegaskan dalam Al-Quran. Kecerahan cahaya ini berkaitan dengan pengetahuan dan kehangatannya dengan cinta.
Tidak ada ranah eksistensi tanpa cinta ada di dalamnya, kecuali jika dilihat dari sudut pandang tertentu pada tingkatan manusiawi, karena Allah telah memberi kita kehendak bebas untuk mencinta atau tidak; namun demikian, bahkan pada tatanan manusiawi dapat dikatakan bahwa bahkan orang-orang yang tidak mencintai Allah atau tetangga mereka masih mencintai dirinya sendiri. Sejauh menyangkut kosmos, cinta dapat dilihat di mana-mana andai saja kita sadar akan realitasnya.
Cabang-cabang pohon tumbuh ke arah cahaya karena cinta, dan hewan-hewan menyayangi anak-anak mereka sebagai akibat dari cinta. Bahkan langit bergerak karena kekuatan cinta, yang kita reduksi menjadi sekadar fisika dan kuantitatif, dan kita sebut gravitasi. Seperti yang ditulis Dante pada bagian paling akhir dari Divine Comedy, kesatuan rohani tertinggi melibatkan pengalaman dan realisasi dari "l’amor che move il sole e l’altre stelle," yaitu, "cinta yang menggerakkan matahari dan bintang-bintang lainnya."
Cinta mengalir di dalam nadi alam semesta, demikian pula rahmat, dan kita sebagai manusia dapat dan benar-benar mencinta, objek cinta kita mulai dari makhluk duniawi, terutama seseorang, hingga Allah itu sendiri. Tetapi seperti yang telah disebutkan, pada kenyataannya cinta berasal Allah dan tidak bersama kita. Dalam dua perintah dasarnya Kristus meminta para pengikutnya untuk mencintai Allah yang mencintai makhluknya dan mencintai tetangga.
Al-Quran menyediakan dasar metafisikal untuk cinta ini dengan menegaskan bahwa Allah akan membawa orang-orang "yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya" (QS Al-Mâ’idah [5]:54). Ayat ini, yang telah berkali-kali dikutip oleh tulisan-tulisan Sufi mengenai cinta, makin menjelaskan bahwa pertama-tama Allah mencintai makhluk-Nya, dan sebagai konsekuensi dari cinta kita bisa mencintai-Nya. Selain itu, seperti yang dinyatakan dua perintah Kristus, cinta Allah memiliki kedudukan lebih tinggi daripada cinta tetangga, yang berarti semua makhluk dan bukan hanya manusia.
Karena itu, dari sudut pandang manusia, ada tahap-tahap cinta yang dipahami secara metafisikal dan seperti yang dijelaskan oleh kaum Sufi. Yang pertama-tama adalah cinta Allah untuk diri-Nya sendiri dan kemudian Cinta-Nya untuk makhluk-Nya, termasuk kita, yang sebagai akibatnya cinta menjalari inti substansi makhluk di semua tingkat eksistensi.
Kemudian, ada cinta kita kepada Yang Ilahi, dan akhirnya ada cinta kita kepada makhluk-makhluk lain, yang menurut mereka yang percaya diturunkan dari cinta kepada Allah. Pemahaman spiritual tentang cinta ini karenanya mentransendensi cinta ego pada dirinya sendiri, cinta palsu yang telah menjadi lumrah pada kebanyakan laki-laki dan perempuan. Hanya melalui hirarki ini dan hubungan di antara berbagai tingkatannya kekuatan spiritual dan transformatif cinta, yang bahkan dapat mengubah cinta ego pada dirinya sendiri menjadi cinta kepada Allah dan yang lainnya, dapat dimengerti.
Tetapi ada unsur lain yang lebih halus yang melibatkan instrumen serta kandungan wahyu yang mengikatkan kita kepada Allah. Bisakah seseorang mencintai Allah sebagai seorang Kristen tanpa mencintai Kristus? Jawabannya cukup jelas. Kebenaran yang sama berlaku bagi Islam, di mana cinta kepada Nabi merupakan prasyarat bagi cinta kepada Allah. Kebenaran ini dirangkum sebagai berikut: untuk mencintai Allah, Dia harus terlebih dahulu mencintai kita, dan Allah tidak mencintai orang yang tidak mencintai Nabi atau rasul-Nya dan risalahnya.
Karena cinta berasal dari Allah dan memancar dari-Nya, cinta sejati di dunia ini pada akhirnya tidak lain daripada cinta kepada Allah. Orang-orang Kristen awal berbicara tentang agape dan eros untuk membedakan cinta Tuhan dan manusia atau kosmik, dan pembedaan ini masih penting dalam banyak teologi Kristen, terutama teologi Katolik.
Kaum Sufi mengambil rute yang berbeda. Mereka tidak menggariskan perbedaan yang tajam antara agape dan eros, memandang yang kedua sebagai bayangan dan juga tangga menuju yang pertama. Sebaliknya, mereka berbicara tentang cinta sejati (al-‘isyq al-haqiqi), yaitu cinta manusia bagi Allah, dan cinta metaforis (al-‘isyq al-majazi), yang meliputi segala bentuk cinta yang kelihatannya berada di luar dan bebas dari ikatan cinta antara Allah dan manusia.
Menurut pandangan ini, sebagian besar dari apa yang kita anggap sebagai cinta bukanlah cinta yang sejati sama sekali melainkan cinta hanya dalam pengertian kiasan. Selain itu, terdapat satu hierarki lagi dalam cinta yang dimulai dari berbagai tingkatan cinta metaforis hingga cinta sejati, yang selalu melibatkan Allah dan dapat mencakup cinta pada seseorang atau sesuatu, tetapi di dalam Allah. Namun bahkan cinta metaforis adalah kilau dari cinta sejati karena akhirnya hanya ada satu Cinta dengan banyak tingkatan manifestasi.
Kaum Sufi juga berbicara tentang bentuk lain gradasi dan hierarki cinta. Mereka memulai dengan kondisi manusia biasa dan berakhir dengan keadaan orang-orang suci. Keadaan cinta terendah dari sudut pandang ini adalah cinta ego atau cinta diri atau cinta untuk dirinya sendiri. Ini masih cinta, tetapi karena sifatnya memenjarakan objeknya, cinta itu melumpuhkan dan menghalangi pertumbuhan jiwa dan kemungkinan baginya untuk mencapai tingkatan cinta yang lebih tinggi. Kemudian ada cinta kepada yang lain, entah itu manusia, hewan, atau benda-benda seperti tanaman, mineral, dan juga artefak bikinan manusia, terutama karya-karya seni. Tetapi tingkat cinta ini masih terbatas dan berhingga serta dalam banyak kasus bersifat sementara.
Sering kali ia menimbulkan keterikatan pada dunia sehingga menghalangi jiwa dari mengalami tingkat cinta yang lebih tinggi, yang secara paradoks juga melibatkan keterlepasan dari hal-hal yang bersifat keduniawian. Kemudian ada cinta untuk realitas suci, mencakup para nabi, kitab-kitab yang diwahyukan, orang-orang suci, seni yang suci, dan sebagainya, yang datang dari Allah, mengarahkan jiwa kepada-Nya, asalkan manusia tetap sadar akan Sumber dari semua yang suci.
Akhirnya, ada cinta kepada Allah, yang Suci adanya, yang tak berbatas dan membebaskan bukannya mengikat karena objek dari cinta ini adalah yang Tak Berbatas. Cinta tingkat tertinggi adalah cinta Allah untuk diri-Nya sendiri, dan inilah Cinta yang membuat semua bentuk cinta lain menjadi mungkin. Bahkan, segala bentuk cinta merupakan pantulan, meskipun sangat samar, dari cinta tertinggi ini.
Dari sudut pandang spiritual semua tingkatan yang disebutkan di atas bisa positif, dan masing-masing tingkat yang lebih rendah dapat mengantarkan ke tingkatan yang lebih tinggi alih-alih bersifat membatasi. Cinta pada diri sendiri dapat membuka kesadaran tentang sifat ego yang mudah mengelabui dan cepat berlalu dari ingatan serta efeknya yang memenjara, mengarahkan seseorang kepada pencarian akan dirinya yang lebih tinggi. Cinta pada yang lain dapat mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan serta membantu jiwa untuk mencari cinta yang tidak pernah binasa.
Cinta pada alam dapat menimbulkan rasa ingin tahu akan hikmat Allah dan cinta kepada Pencipta makhluk-makhluk yang menjadi objek kecintaan kita. Adapun cinta pada objek-objek suci, teofani dan yang sejenisnya, hampir selalu mengantarkan kepada cinta kepada Wujud Yang merupakan sumber dari karunia dan keindahan yang hadir di dalamnya. Hierarki cinta dengan demikian dapat dipandang sebagai tangga pendakian menuju Kerajaan Langit dan sebagai deskripsi tentang keterbatasan dan pemenjaraan yang lebih besar atas jiwa saat seseorang saat ia turun ke tingkatan yang lebih rendah dari hierarki tersebut.