Mengenal Malaikat (Bagian 3)

Sifat-sifat Malaikat
Manusia memiliki banyak sekali sifat. Secara umum, di dalam diri manusia terhimpun dua jenis sifat dasar sekaligus yakni sifat-sifat yang baik maupun buruk. Orang sering berkata bahwa kebaikan di dalam diri seseorang adalah gambaran potensi malaikat. Sementara sifat-sifat buruk manusia adalah perwujudan dari daya-daya syathaniyyah. Sejatinya, para malaikat juga diciptakan Allah dengan beberapa karakteristik pembawaan yang bersifat dasar.

Beberapa bentuk sifat dasar para malaikat itu di antaranya dimiliki pula oleh manusia, namun kadar dan perwujudannya dalam perilaku antara keduanya sangatlah berbeda. Beberapa sifat malaikat itu antara lain adalah sebagai berikut:

1. Malaikat memiliki sifat takut kepada Allah
Manusia memiliki banyak rasa takut. Ada yang semata-mata merupakan bawaan dari sifat manusia, misanya takut pada sesuatu yang mengerikan, berbahaya, dan resiko yang besar. Ada juga takut manusia yang bersifat syar’i, misalnya manusia takut melakukan tindakan dosa, dsb.
Malaikat juga mempunyai rasa takut. Namun rasa takut yang dimiliki malaikat ialah rasa takut kepada Allah semata. Kepada hal-hal lain malaikat tidak takut tetapi tidak menyukainya, misalnya tidak suka orang yang kikir.

Sifat malaikat dalam hal ini bukanlah pengecut. Takut mereka kepada Allah adalah buah dari makrifat dan pemahaman mereka terhadap kekuasaan dan kebesaran Allah. Mereka takut untuk melakukan pembangkangan terhadap Allah. Mereka takut dalam lingkup ketaatan mereka yang sangat tinggi kepada Allah.

Sebaliknya, Iblis sesungguhnya juga memahami kebesaran Allah. Tapi ia tidak patuh dan memiliki kesombongan sehingga ia harus terlempar dari surga. Jika dibandingkan dari pembangkangan yang sering dilakukan manusia, apa yang dilakukan Iblis untuk tidak mau sujud kepada Adam mungkin bukan kesalahan yang terlalu besar.

Kesalahan terbesar Iblis justru terletak pada keengganannya mematuhi perintah Allah dan ini berarti suatu pembangkangan dan keberanian yang tidak pada tempatnya. Padahal ia telah begitu dekat melihat kekuasaan Allah secara langsung. Sikap ini berbeda jauh dengan apa yang dilakukan malaikat. Meski mereka tidak tahu maksud dan tujuan sujud itu, para malaikat tetap melakukan sujud kepada Adam dalam konteks kepatuhan dan ketakutan mereka kepada murka Allah.

Berkaitan dengan sifat takut para malaikat kepada Allah ini, Rasulullah saw. bersabda, “Apabila Allah menetapkan perintah di atas langit, para malaikat mengepakkan sayap-sayapnya karena patuh akan firman-Nya, seakan-akan firman (didengar) itu seperti gemerincing rantai besi (yang ditarik) di atas batu rata. Hal itu memekakkan mereka (sehingga mereka jatuh pingsan karena ketakutan). Maka apabila telah dihilangkan rasa takut mereka, mereka berkata, ‘Apakah yang difirmankan oleh Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘(Perkataan) yang benar. Dan Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.’ Ketika itulah, (setan-setan) penyadap berita ini sebagian mereka di atas sebagian yang lain -digambarkan Sufyan bin Uyainah bin Maimun Al-Hilali, salah seorang periwayat hadist ini- dengan telapak tangannya, dengan direnggangkan dan dibuka jari-jemarinya. Maka ketika penyadap berita (yang di atas) mendengar kalimat (firman) itu, disampaikanlah kepada yang di bawahnya, kemudian disampaikan lagi kepada yang di bawahnya, dan demikian seterusnya hingga disampaikan ke mulut tukang sihir atau tukang ramal. Akan tetapi kadang kala sudah sempat menyampaikannya sebelum terkena syihab (panah api) lalu dengan satu kalimat yang didengarnya itulah, tukang sihir atau tukang ramal melakukan seratus macam kebohongan. Mereka (yang mendatangi tukang sihir atau tukang ramal) mengatakan, ‘Bukankah dia telah memberitahu kita pada hari anu akan terjadi anu (dan itu terjadi benar).’ Sehingga dipercayalah tukang sihir atau tukang ramal tersebut karena satu kalimat yang telah didengar dari langit” (QS. Bukhari, dari Abu Hurairah ra).

Dalam versi yabg lain, ada riwayat yang senada dengan bunyi hadits di atas, tentang bagaimana rasa takut para malaikat kepada Allah, sehingga ketika Allah menyampaikan firman-Nya, para malaikat itu pingsan karena takut kepada Allah.

Para ahli tafsir, termasuk Ibnu Katsir, menggunakan hadist di atas untuk memaknai surat Saba 23, “Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat itu, sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata, “Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab, ‘(Perkataan) yang benar dan Dia-lah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.’”

Malaikat adalah makhluk Allah yang sangat perkasa. Ketakutan manusia jika dibandingkan ketakutan manusia sungguh tidak ada artinya. Tetapi di balik keperkasaannya itu, malaikat adalah makhluk Allah yang paling takut kepada Allah. Sebaliknya manusia, meski ia sadar bahwa dirinya makhluk lemah jika berhadapan dengan makhluk Allah yang lain, manusia justru paling berani bermaksiat kepada Allah. Semoga sikap takut malaikat kepada Allah ini menjadi pelajaran penting bagi kita umat manusia.


2. Malaikat memiliki rasa malu
Manusia dianugerahi oleh Allah dengan rasa malu. Tetapi rasa malu yang dimiliki manusia bisa menebal, menipis atau bahkan bisa hilang sama sekali. Malu sebagaimana sabda rasulullah memang sangat terkait dengan iman. Semakin tinggi keimanan manusia, maka rasa malunya kepada Allah juga akan semakin tinggi untuk tidak melakukan perintah-Nya.

Malaikat ternyata dianugerahi pula dengan rasa malu. Mereka malu untuk tidak taat kepada Allah. Sehingga selain karena takutnya kepada Allah, ketaatan malaikat juga dilatari oleh rasa malu jika tidak menjalankan perintah-Nya.

Apakah malaikat memiliki rasa malu terhadap manusia? Malaikat ternyata memang merasa malu pula dengan beberapa kondisi manusia, di antaranya pada saat manusia tidak berpakaian (telanjang) sehingga mereka menghindari orang yang telanjang.

Malaikat juga merasa malu secara syar’i kepada orang-orang tertentu. Aisyah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw merasa malu dengan kehadiran Ustman di rumah beliau yang saat itu Nabi saw. sedang berbaring. Ketika Ustman datang, Nabi saw. membenahi posisi berbaring dan menarik selimutnya. Padahal ketika Abu Bakar & Umar bin Khathab yang berkunjung sebelumnya Nabi saw. tidak mengubah posisi berbaring. Aisyah mengapa Nabi saw. berbeda sikap, Nabi saw menjawab, “Wahai Aisyah, bagaimana aku tidak malu kepada lelaki yang demi Allah malaikat pun malu padanya. Aku kuatir jika menyambutnya seperti tadi, ia tak jadi menyampaikan keperluannya” (HR. Ahmad).

Mengapa malaikat malu dengan Utsman? Tentu saja hal ini sangat terkait dengan kualitas kepribadian Utsman. Sejarah mencatat tentang betapa uniknya keshalihan Ustman terutama berkenaan dengan sikap malunya yang sangat tinggi untuk bermaksiat dan berperilaku yang tidak sepatutnya. Utsman sangat terkenal dengan akhlak dan budi pekerti yang sangat baik. Sehingga Rasulullah saw. pun berkenan menjadikannya menantu untuk dua orang putrinya. Karakter inilah yang barangkali membuat para malaikat pun menjadi malu kepadanya.

Secara umum, rasa malu malaikat sama sekali tidak terkait dengan kondisi mereka, sebagaimana manusia yang memiliki rasa malu berkaitan dengan tubuh atau aib yang dimilikinya. Rasa malu yang dimiliki oleh malaikat lebih terkait dan condong pada malu yang dipancarkan oleh keimanan dan ketakwaan mereka yang murni kepada Allah.


3. Bersifat mulia
Para malaikat itu mulia. Tidak pernah melakukan kemaksiatan. Apa yang mereka lakukan adalah perbuatan-perbuatan yang mulia. Mereka hanya beribadah kepada Allah dan menjalankan perintah-perintah Allah. Di dalam alam malaikat tidak ada ucapan dan kegiatan yang lagho (sia-sia). Semuanya bermakna peribadatan dan ketaaan kepada Allah. Alquran menggambarkan, “Dan mereka berkata, ”Tuhan yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak.’ Mahasuci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya” (Qs Al-anbiyaa 26-28).
Status kemuliaan yang dimiliki oleh para malaikat dan dinyatakan Allah meliputi kemuliaan dalam status dan kedudukan mereka yang berada di tempat tinggi. Mereka dekat dengan Allah. Selain itu mereka menjadi hamba allah yang dimuliakan karena bakti dan ketaatan mereka kepada-Nya.

4. Memiliki sifat lemah lembut maupun kasar/keras
Malaikat mampu bersikap lembut, namun pada saat yang sama mereka juga dapat tampil sangat keras bahkan mampu menghancurkan kehidupan. Sikap yang dinampakkan malaikat Jibril ketika bertemu dengan para utusan Allah dari kalangan nabi & rasul biasanya penuh kelembutan dan sikap yang menyenangkan.

Sebaliknya, Jibril bisa menampilkan sosok yang keras. Para sahabat Rasulullah saw. mendengar bentakan Jibril dan bunyi cambuknya yang menggelegar pada saat terjadi perang Uhud. Kaum Sodom, kaum Nabi Luth as merasakan bagaimana azab Allah yang diturunkan kepada mereka melalui Jibril dan Mikail.
Malaikat maut juga memiliki dua sifat ini. Terhadap kaum muslimin yang bertakwa, malaikat maut akan menarik ruh orang itu dengan lemah lembut. Sebaliknya jika yang mati ahli kemaksiatan, maka malaikat maut akan memperlakukan orang itu dengan kasar. Firman-Nya, “Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras. (Malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut” (QS. Annaziat 1-2).


5. Patuh kepada Allah serta tidak pernah lancang

Taat kepada Allah nampaknya sifat paling dasar dari sifat-sifat para malaikat. Pada saat di antara mereka harus memerankan sabagai malaikat bengis dalam menghukum hamba-hamba Allah yang ingkar, maka sesungguhnya sikap itu merupakan perwujudan dari sikap taat mereka kepada Allah.

Sebaliknya pada saat mereka harus bersikap lembut dan menarik ketika harus menemui orang-orang yang taat kepada Allah, maka itu pun mereka lakukan dalam konteks ketaatan dan pelayanan kepada Allah. Firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak menduharkai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim 6).

Malaikat tidak memiliki kreativitas dalam taat kepada Allah. Mereka bertutur dalam ketakziman yang dalam, sehingga tidak akan terbersit dalam diri para malaikat untuk mendahului perkataan Allah. Akhlak para malaikat yang begitu tinggi dalam memposisikan allah sebagai rabb dan kesadaran diri yang tinggi atas statusnya sebagai hamba dan makhluk allah, semestinya memberi inspirasi bagi kaum muslimin tentang bagaimana seharusnya bersikap sebagai seorang hamba yang baik terhadap tuannya.


6. Hanya mencintai apa yang dicintai Allah, begitu pula benci
Para malaikat memiliki ketaatan yang sangat tinggi kepada Allah. Mereka tidak suka terhadap sesuatu yang dimurkai Allah. Demikian juga, mereka mencintai apa saja yang dicintai oleh allah.
Rasulullah saw. bersabda, ”Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril, ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan, oleh karena itu cintailah ia.’ Maka penduduk langit pun mencintai dia, kemudian diletakkan untuknya kecintaan di bumi” (HR. Bukhari & Muslim).

Dengan demikian, posisi dan sikap cinta malaikat tidak pernah mendua apalagi sampai terjebak dalam dilema. Karakteristik cinta malaikat ini berbeda dengan rasa cinta yang dimiliki oleh manusia. Cinta yang dimiliki manusia lebih kompleks dan rumit, sehingga manusia mudah terjebak dan terombang-ambing dalam berbagai dilema cinta.

Para malaikat menyandarkan semua dorongan cintanya hanya bersumber dan selaras dengan cinta dan ketaatan kepada Allah. Sementara ada banyak sumber dan penyebab cinta bagi manusia. Masing-masing penyebab itu dapat menimbulkan konflik dan pertentangan yang tajam antara berbagai kepentingan cinta tersebut. Sehingga mengaburkan prioritas pilihan cinta. Dan tidak sedikit manusia yang tergelincir pada kehancuran karenanya.

Seorang ayah atau suami bisa saja mengalami konflik cinta antara sayang anak, istri, dan cinta kepada Allah. Banyak yang lebih memilih mencintai anak dan istri daripada mencintai Allah. Contohnya, karena ingin membahagiakan anak-istrinya di mata manusia banyak orang yang berani melanggar ketentuan Allah.
Tetapi kalangan manusia yang memiliki keutamaan iman & takwa, mereka akan lebih memilih Allah, meskipun kadang harus mengorbankan manisnya kebahagiaan keluarga. Masyitoh tukang sisir permasuri Fir’aun adalah salah satu tipe manusia yang memiliki keutamaan dalam iman dan takwa kepada Allah. Ia berada dalam dilema cinta yang sulit, ketika menghadapkan seluruh keluarga dan anak-anaknya yang masih kecil, bahkan masih ada yang menyusu dengan penggorengan raksasa yang telah disediakan serdadu Fir’aun.

Masyitoh bukan tidak sayang kepada anak atau suaminya. Tapi Masyitoh lebih mencintai Allah di atas apa pun dari semua isi dunia ini. Pilihan cintanya kemudian selaras dengan cinta malaikat yang hanya mencintai dan memprioritaskan apa-apa yang dicintai oleh Allah meskipun itu berarti kematian!


7. Malaikat tidak memiliki kesombongan

Malaikat adalah hamba Allah yang sangat tahu diri. Mereka mengerti kedudukan dan tugas mereka. Di hadapan Allah mereka adalah hamba dan pelayan. Mereka sadar sepenuhnya, bahwa keberadaan mereka adalah benar-benar karena kuasa dan keagungan Allah semata. Sehingga mereka harus tunduk kepada Allah tanpa keraguan dan konsisten dalam sikapnya itu.

Berbeda dengan manusia dan jin. Kedua makhluk Allah ini memang memiliki potensi kesombongan. Iblis dan sebagian manusia sesungguhnya tahu bahwa sombong adalah sifat yang sangat tidak disukai oleh Allah. Iblis pun terperosok dalam lembah kesesatan yang abadi, karena menanggung dosa kesombongan di hadapan Allah.

Beberapa kalangan manusia yang memelihara kesombongan sebagai cara hidup, pada akhirnya juga mengalami kehancuran. Fir’aun hancur karena kesombonganya atas ayat-ayat Allah yang di bawa oleh Musa as. Namrudz dari generasi yang lebih tua, juga binasa karena kesombongannya.

Jika manusia dan jin punya potensi kesombongan, maka malaikat justru tidak pernah terjebak di dalam sifat sombong dan bangga diri. Garansi tentang kerendahhatian para malaikat datang dari Allah langsung, “Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)” (QS. An-nahl 49-50).


8. Tidak malas menyembah Allah
Malas dan mudah letih dalam beribadah kepada Allah adalah sifat dan tabiat sebagian besar manusia. Hanya mereka yang memiliki tingkat kecintaan kepada Allah yang sangat tinggilah yang mampu melakukan ibadah secara kontinyu dan tidak terbebani kemalasan.

Manusia yang telah mampu mencapai kondisi di atas, sebenarnya secara spiritual telah menyamai kedudukan malaikat. Bahkan mungkin lebih tinggi lagi penghargaan yang Allah berikan kepada malaikat, jikalau mereka sampai pada tingkatan tersebut. Karena manusia memiliki nafsu. Malaikat bisa beribadah kepada Allah secara terus menerus tanpa merasa capek, karena mereka tidak dibebani tarikan nafsu. Malaikat tidak harus menafkahi dirinya, sebaliknya manusia harus jungkir-balik untuk mempertahankan kehidupanya.

Sifat malaikat yang tidak merasa lelah ini diinformasikan langsung Allah, “Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembahnya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya” (QS. Al-anbiyaa’ 19-20).(bersambung).(sumber: Jejak Malaikat Di Bumi, M. Hilal Tri Anwari, Pustaka Al Kautsar, 2009, Jakarta, hlm. 40-50).

Related

supranatural 6779773489445051790

Follow Us

Connect Us

Side Ads

Text Widget

Info Pasang Iklan
KlikDisini !

Recent

Comments

Flag Counter

Social Community

item